9 Januari 2010

The Cage (Kerangkeng)

Tulisan ini sekedar auto-kritik atas penomena akhir-akhir ini yang penulis temukan dari peran para ulama, kiyai, muallim, ustadz/dzah yang memenjarakan diri dan ilmunya pada kandang-kandang yang berjeruji kelompok, golongan juga partai. Kemandirian peran seorang ulama, seorang alim, kiyai telah terkontaminasi oleh syahwat kebutuhan sesaat, peristiwa sesaat (pileg, pemilu, pilkada, pilgub) dengan mengorbankan peran keabadian fungsi berdiri di atas semua golongan, kelompok juga partai. Tragis!
 
Cerita I
Dua orang pemburu sedang membidik seekor menjangan di hutan belantara, ketika terdengar suara erangan harimau, mereka lari terbirit-birit mencari tempat perlindungan, memanjat pohon. Auman harimau itu semakin jelas terdengar, dekat …. Dan memang benar, seekor macan  loreng sedang mengais-ngais hidungnya ke batang pohon, matanya kecil tajam mendongkak melihat ke atas dan mengitari pohon sambil memperlihatkan taringnya  kemudian menggerang kembali, grrgh….gerrrgh  kedua pemburu itu menggigil ketakutan, wajahnya pucat pasi,  takut yang bukan kepalang, tanpa mereka sadari celana mereka basah.

 Cerita II
Minggu siang di Kebun Binatang “Ragunan” Jakarta seorang anak sedang mencoba mempermainkan seekor macan loreng, dari luar jeruji kandang dia lempar macan tersebut dengan beberapa butir kacang, harimau itu hanya menggerang kecil, menguap. Anak itu mengambil beberapa kerikil dan melempar macan tersebut dan macan tersebut lari sembunyi ke balik batu, ketakutan ….. tapi tidak basah.

 Cerita III
Di sebuah pesantren, sebuah forum pengajian seorang kiyai sedang memberi ceramah kepada jamaah yang terdiri atas kaum bapa-bapak dan ibu-ibu. “bapa-bapa ibu-ibu mau ke surga ga?!!” serentak yang hadir menjawab “mauuuu”, “bapa-bapa, ibu-ibu tidak mau ke neraka, kan?!” “ serentak mereka kembali menjawab “tidaaaak!!!”
“nah kalau bapa-bapa dan ibu-ibu mau ke surga dan tidak mau ke neraka, maka nanti pada tanggal pemilihan calon legislatif bapa-bapa ibu-ibu harus mencontreng nama Pa kuyup sebagai calon wakil kita di dewan. Dan alhamdulillah pa Kuyup sudah hadir di hadapan kita untuk memberikan sambutannya. Silahkan pa!” Pa Kuyup berdiri dan nampak pecinya agak longgar karena isterinya beli di pasar salah nomor, dasinya totol-totol juga kegedean, kontras dengan warna baju dan celananya, tetapi nampak dia penuh percaya diri “ Awewe, bapa dua ibu dua (maksudnya : assalamu ‘alaikum warohmatullahi wabarokatuh, bapa-bapa ibu-ibu. Pa Kuyup baca sesuai dengan tulisan anaknya semalam yang senang smsan; a w w,  bapa2 - ibu2) pilih saya nanti maka pembangunan di kampung kita bisa dilaksanakan secara hev by hev (maksudnya step by step, anaknya salah dengar dan salah tulis), ……………………………………. Pengajian usai bubar dan pulangnya masing-masing jamaah mendapat amplop limaribuan.
Ketiga cerita di atas adalah imajinasi penulis untuk menggambarkan betapa sosok seorang ulama, kiyai yang seharusnya menjadi macan berwibawa di hutan belantara, yang ditakuti segenap hewan di sekitarnya karena aumannya (ilmunya yang mumpuni), karena taringnya (lidah dan suaranya yang keras, lembut dan menyejukkan juga bisa menakutkan) dan karena kukunya (daya cengkram akidahnya yang kukuh, teguh, serta kekuatan fisiknya yang prima) juga larinya yang kencang teratur dalam menangkap perubahan jaman kini tidak lagi menyejukan, menakutkan, tak lagi menyeramkan, tak lagi membuat kuduk berdiri dan tak lagi membuat basah. Sang kiyai telah dikerangkeng bahkan telah mengkerangkengkan dirinya sendiri dalam suatu sangkar (kandang) yang bernama golongan, partai dan kelompok. Bahkan kesombongan karena kebesaran namanya, ketenaran lembaga pendidikannya,  karena jumlah jama’ahnya yang banyak, tega-teganya dia mereduksi fungsi dan perannya dengan memanfaatkan dalil-dalil agama untuk menguatkan keberpihakannya pada kelompok, golongan dan partai. Tragis.

Kontaminasi peran ulama
Ulama adalah seorang yang memiliki ilmu, baik ilmu tentang dalil (petunjuk) kehidupan di dunia juga dalil-dalil tentang kehidupan masa depan (akhirat), ulama adalah warotsatul anbiyaa (pewaris para nabi), ulama adalah yang memfungsikan Alqur`an sebagai rahmatan lil ‘alamin (yang mendidik, mengopen, mengayomi dan memelihara semesta alam; termasuk di dalamnya mengajar dan mendidik manusia dengan keanekaragaman ras, suku, budaya dan daerah). Ulama adalah solusi bukan yang disomasi, ulama adalah suri bukan duri, ulama adalah dian bukan kelam, ulama adalah cahaya bukan gulita, ulama adalah perajut bukan penghasut, ulama adalah abadi bukan nisbi serta ulama adalah awal dan akhir pendidik ummat manusia.
Oleh ulamalah seharusnya sekat-sekat primordialisme diurai, sekat-sekat golongan ditiadakan, karena orang – orang  muslim itu adalah ummatan wahidah (umat yang satu). Dan melalui peran serta fungsi para ulamalah umat Islam digerakan untuk hanya memiliki satu ideologi, satu partai politik, agar pewarnaan pemerintah baik yang duduk di parlemen, eksekutif  bisa diwujudkan. Lurus akidah dan bagus ibadahnya. Oleh ulama pulalah optimisme kehidupan seseorang, masyarakat dan warganegara menjadi hidup dan dihidupkan serta melalui peran ulama pulalah ummat manusia menjadi tahu makna dan arti kehidupan.
Konsep indah – ideal ini sulit dilaksanakan karena fakta menunjukkan para ulama, kiyai, mualim, ustdaz/dzah justru banyak yang telah tega mengkerdilkan peran dan fungsi dirinya dalam kandang-kandang golongan, kelompok dan partai, sehingga auman ‘amar ma’rufnya tak lagi didengar, fals, sumbang, ngosom, balelol. Lidah dan taringnya tak lagi tajam dan kukunya tak mampu mencabik-cabik fahsya ‘anil munkar dan larinya tak lagi gesit dan kencang karena sarat dengan beban kepentingan sesaat yang ditumpuk di punggungnya.
Kelangkaan ulama yang waro’, tawaddu’, mukhlis serta mukhsin kini sulit dicari. Tetapi, yakin masih ada, dan Allah maha tahu itu. Mana para ulama yang rendah hati, ikhlas, satu ucapan satu perbuatan, tidak sombong, tidak memihak kepada persoalan-persoalan parsial, tidak berani menjual dan menukarkan fungsi dan perannya dengan nilai-nilai materi yang sedikit, tidak menjadi corong sang pengusaha, konglomerat,  penguasa serta pejabat yang jahat.
Barangkali, tetapi penulis yakin, masih ada para ulama di sekitar kita, petani yang ikhlas memakmurkan bumi, para peternak yang lembut dan sabar, nelayan yang mengais karunia di lautan, para pedagang yang jujur di pasar-pasar, para sopir yang hati-hati dan amanah, serta mereka-mereka yang berprofesi tenaga dan jasa. Ruh keikhlasan, rendah hati pada jiwa-jiwa mereka serta rasa takut yang akut kepada Allah ketika menjalankan fungsi dan perannya, itulah ulama yang sebenarnya. Semoga !!

Bogor, Januari 2009.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar