Sosok Ajengan
KH. Ahmad Sanusi
Asal Kelahiran
Dilahirkan pada tanggal 3 Muharam 1036 H (18 September 1889). Ibunya bernama Empok, ayahnya, Haji Abdurrahim bin Haji Yasin, seorang tokoh masyarakat dan kyai Pesantren Cantayan, Desa Cantayan Kecamatan Cikembar, Kawedanaan Cibadak, Kabupaten Sukabumi.
Perjalanan Intelektual
Mula-mula mendapat pelajaran dan pendidikan langsung dari ayahnya. Setelah cukup dewasa, kemudian disuruh belajar di berbagai pesantren yang ada di daerah Sukabumi, daerah Jawa Barat dan sekitarnya. Beliau menimba ilmu di berbagai Kyai terkenal pada waktu itu, antara lain:
1. KH. Muhammad Anwar, pengasuh Pesantren Selajambe, Cisaat Sukabumi,
2. KH. Muhammad Siddik, pengasuh pesantren Sukamantri, Cisaat Sukabumi,
3. KH. Djenal Arif, Sukaraja, Sukabumi.
4. Berguru pada kyai dari pesantren Cilaku dan Ciajag, Kabupaten Cianjur,
5. KH. Su’jai, pengasuh Pesantren Gudang, Tasikmalaya,
6. Berguru pada KH. Ahmad Satibi di Pesantren Gentur Cianjur, selama 3 bulan
7. Setelah itu, iapun pada tahun 1909 pergi ke Mekkah, disamping melaksanakan ibadah haji, beliaupun berguru kepada beberapa ulama lokal dan pendatang, antara lain: H. Muhammad Junaedi, H. Mukhtar, H. Abdullah Jamawi, Syaikh Saleh Bafadil dan Said Jawani, seorang mufti dari madzhab Syafi’i.
Bersentuhan dengan Organisasi Politik
Selama berada di Mekkah, beliau mulai berkenalan dengan masalah politik. Diawali perjumpaannya dengan H. Abdul Muluk dan diajaknya untuk terlibat dalam SI (Sarekat Islam), beliaupun bergabung. Pada tahun 1915, sepulang dari Mekah, selain membantu ayahnya mengajar pada santri di pesantren Cantayan, iapun diminta oleh H. Sirod, Presiden SI lokal Sukabumi untuk menjadi Adviseur (Penasihat) SI. Permohonan ini disanggupi dengan mengajukan beberapa syarat antara lain: Para anggota SI diminta meningkatkan kualitas ilmu keislaman, meningkatkan kesejahteraan para anggota di bidang ekonomi melalui perdagangan melalui pinjaman modal yang diambil dari iuran anggota lokal. Artinya iuran tersebut tidak seluruhnya disetorkan ke pengurus pusat, namun sebagian dikelola oleh pengurus lokal untuk kesejahteraan anggota. Namun ternyata persyaratan ini tidak seluruhnya dipenuhi oleh pengurus SI, akhirnya iapun keluar. Walaupun demikian, ia masih sering berhubungan dengan pengurus SI dan diundang di berbagai kegiatan SI.
Terlibat dalam Masalah Keislaman dan Keumatan
KH. Ahmad Sanusi termasuk kelompok Islam tradisional yang mengikut faham madzhab Syafi’i. Dalam persolaan keislaman dan keumatan, iapun terlibat konfrontasi dan debat dengan para kyai dari pakauman, yaitu kelompok kyai yang ditunjuk pemeritahan Belanda untuk mengurus masalah keislaman dan keumatan, sekaligus dengan para pejabat pemerintahan pada waktu, antara lain dalam masalah:
1. Zakat dan Fitroh. Menurutnya, pengumpulan zakat dan fitroh oleh para lebe atau amil dari pakauman, yang kemudian disetorkan kepada naib dan seterusnya kepada Hoofd Penghulu di Kabupaten adalah salah kaprah. Masalah zakat dan fitroh adalah urusan umat Islam, bukan urusan pemerintah. Oleh karenanya, zakat dan fitroh tidak perlu diserahkan kepada pemerintah, tapi dikumpulkan kepada amil yang ditunjuk masyarakat, untuk seterusnya dibagikan kepada mustahik. Fatwa ini, tentu saja mendapat respons dan dukungan masyarakat. Terbukti, semakin banyak masyarakat yang menolak zakat dan fitroh ke amil-amil pemerintah. Tentu saja fatwa ini ditentang keras oleh para kyai pakauman, tentu saja karena akan mengurangi setoran keuangan ke pihak pemerintah pada waktu itu.
2. Selametan. Beliau mengkritik upacara ketiga, ketujuh, empat puluh, seratus dan seterusnya bagi orang yang telah meninggal. Perbuatan itu termasuk makruh malah bisa menjadi haram hukumnya. Reaksi keras terhadap fatwa ini, lagi-lagi datang dari kyai pakauman, khususnya Kyai Raden H. Uyek Abdullah, anggota Raad Igama, yang juga menjabat imam kaum Sukabumi. Bisa dimengerti, bila acara selametan ini diharamkan, tentu saja akan mengurangi pendapatan para kyai pakauman. Karena perbedaan masalah ini, yang dianggap sangat sensitif, maka diadakanlah acara debat terbuka antara KH. Ahmad Sanusi dan kyai Pakauman dalam satu majelis umum.
3. Beliau memfatwakan, bahwa penyebutan atau mendoakan nama Bupati dalam khutbah Jum’at, hukumnya tidak wajib dan sebaiknya tidak perlu dilakukan. Karena dalam Islam, terhadap para pemimpin yang zalim, walau dia muslim saja diharamkan, apalagi kepada para pemimpin non-muslim, yang diangkat dan diberhentikan oleh orang kafir.
KH. Ahmad Sanusi
Asal Kelahiran
Dilahirkan pada tanggal 3 Muharam 1036 H (18 September 1889). Ibunya bernama Empok, ayahnya, Haji Abdurrahim bin Haji Yasin, seorang tokoh masyarakat dan kyai Pesantren Cantayan, Desa Cantayan Kecamatan Cikembar, Kawedanaan Cibadak, Kabupaten Sukabumi.
Perjalanan Intelektual
Mula-mula mendapat pelajaran dan pendidikan langsung dari ayahnya. Setelah cukup dewasa, kemudian disuruh belajar di berbagai pesantren yang ada di daerah Sukabumi, daerah Jawa Barat dan sekitarnya. Beliau menimba ilmu di berbagai Kyai terkenal pada waktu itu, antara lain:
1. KH. Muhammad Anwar, pengasuh Pesantren Selajambe, Cisaat Sukabumi,
2. KH. Muhammad Siddik, pengasuh pesantren Sukamantri, Cisaat Sukabumi,
3. KH. Djenal Arif, Sukaraja, Sukabumi.
4. Berguru pada kyai dari pesantren Cilaku dan Ciajag, Kabupaten Cianjur,
5. KH. Su’jai, pengasuh Pesantren Gudang, Tasikmalaya,
6. Berguru pada KH. Ahmad Satibi di Pesantren Gentur Cianjur, selama 3 bulan
7. Setelah itu, iapun pada tahun 1909 pergi ke Mekkah, disamping melaksanakan ibadah haji, beliaupun berguru kepada beberapa ulama lokal dan pendatang, antara lain: H. Muhammad Junaedi, H. Mukhtar, H. Abdullah Jamawi, Syaikh Saleh Bafadil dan Said Jawani, seorang mufti dari madzhab Syafi’i.
Bersentuhan dengan Organisasi Politik
Selama berada di Mekkah, beliau mulai berkenalan dengan masalah politik. Diawali perjumpaannya dengan H. Abdul Muluk dan diajaknya untuk terlibat dalam SI (Sarekat Islam), beliaupun bergabung. Pada tahun 1915, sepulang dari Mekah, selain membantu ayahnya mengajar pada santri di pesantren Cantayan, iapun diminta oleh H. Sirod, Presiden SI lokal Sukabumi untuk menjadi Adviseur (Penasihat) SI. Permohonan ini disanggupi dengan mengajukan beberapa syarat antara lain: Para anggota SI diminta meningkatkan kualitas ilmu keislaman, meningkatkan kesejahteraan para anggota di bidang ekonomi melalui perdagangan melalui pinjaman modal yang diambil dari iuran anggota lokal. Artinya iuran tersebut tidak seluruhnya disetorkan ke pengurus pusat, namun sebagian dikelola oleh pengurus lokal untuk kesejahteraan anggota. Namun ternyata persyaratan ini tidak seluruhnya dipenuhi oleh pengurus SI, akhirnya iapun keluar. Walaupun demikian, ia masih sering berhubungan dengan pengurus SI dan diundang di berbagai kegiatan SI.
Terlibat dalam Masalah Keislaman dan Keumatan
KH. Ahmad Sanusi termasuk kelompok Islam tradisional yang mengikut faham madzhab Syafi’i. Dalam persolaan keislaman dan keumatan, iapun terlibat konfrontasi dan debat dengan para kyai dari pakauman, yaitu kelompok kyai yang ditunjuk pemeritahan Belanda untuk mengurus masalah keislaman dan keumatan, sekaligus dengan para pejabat pemerintahan pada waktu, antara lain dalam masalah:
1. Zakat dan Fitroh. Menurutnya, pengumpulan zakat dan fitroh oleh para lebe atau amil dari pakauman, yang kemudian disetorkan kepada naib dan seterusnya kepada Hoofd Penghulu di Kabupaten adalah salah kaprah. Masalah zakat dan fitroh adalah urusan umat Islam, bukan urusan pemerintah. Oleh karenanya, zakat dan fitroh tidak perlu diserahkan kepada pemerintah, tapi dikumpulkan kepada amil yang ditunjuk masyarakat, untuk seterusnya dibagikan kepada mustahik. Fatwa ini, tentu saja mendapat respons dan dukungan masyarakat. Terbukti, semakin banyak masyarakat yang menolak zakat dan fitroh ke amil-amil pemerintah. Tentu saja fatwa ini ditentang keras oleh para kyai pakauman, tentu saja karena akan mengurangi setoran keuangan ke pihak pemerintah pada waktu itu.
2. Selametan. Beliau mengkritik upacara ketiga, ketujuh, empat puluh, seratus dan seterusnya bagi orang yang telah meninggal. Perbuatan itu termasuk makruh malah bisa menjadi haram hukumnya. Reaksi keras terhadap fatwa ini, lagi-lagi datang dari kyai pakauman, khususnya Kyai Raden H. Uyek Abdullah, anggota Raad Igama, yang juga menjabat imam kaum Sukabumi. Bisa dimengerti, bila acara selametan ini diharamkan, tentu saja akan mengurangi pendapatan para kyai pakauman. Karena perbedaan masalah ini, yang dianggap sangat sensitif, maka diadakanlah acara debat terbuka antara KH. Ahmad Sanusi dan kyai Pakauman dalam satu majelis umum.
3. Beliau memfatwakan, bahwa penyebutan atau mendoakan nama Bupati dalam khutbah Jum’at, hukumnya tidak wajib dan sebaiknya tidak perlu dilakukan. Karena dalam Islam, terhadap para pemimpin yang zalim, walau dia muslim saja diharamkan, apalagi kepada para pemimpin non-muslim, yang diangkat dan diberhentikan oleh orang kafir.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar