PAGI yang cerah, segelas kopi kental hangat dan dua potong pisang goreng menemani pagiku, sementara “belu” kucingku menyapaku dengan mengais-ngaiskan lehernya di kakiku. Wuah, sungguh pagi yang ramah, sejuk, angin kecil mencoba menerobos pori-pori bilik kamarku.
‘assalamu `alaikum’ terdengar suara orang mengucap salam, nadanya dalam dan berat, pertanda orangnya tua dan berwibawa.
‘wa’alaikum salam’ sahutku sambil kubuka pintu, dan dugaanku meleset, ternyata orangnya masih muda dan cukup berwibawa, dan dilihat dari penampilannya, ini tamu pasti orang penting, akh, aku tidak mau mereka-reka, suka meleset (pikirku), yang penting prinsipku setiap orang yang datang kerumahku selalu kuperlakukan orang penting, tapi siapa gerangan, tamu pagi istimewa ini.
‘apa betul ini rumahnya pa burhan?’
‘ya, betul, pak. Saya sendiri, dan ....”
“kenalkan saya, pa Yuda .....”
‘Oh? ya silahkan masuk pa Yuda, ..... kaget saya, barangkali ada yang bisa saya bantu?’
“begini pa, ehm, hari ini Bapa ada acara ga?”
‘oh, ga, engga, paling ya menulis, saya sedang menulis sebuah buku ....”
‘wuah tentunya saya mengganggu sekali ya pa .....’
‘nggak pa, tidak mengganggu, saya menulis kalau ada ide, senggang waktu, dan lagi mood .....
‘Oh, begini pa, saya mau beli komputer baru dan lengkap”
‘Wuah, saya sudah lama pa ga jual komputer, dan ....”
“ya, saya juga tahu pa, bapa ga jualan komputer lagi, tapi sahabat saya menyarankan untuk menghubungi bapa, ya kalau bapa ga repot sih hari ini kita berangkat ke mangga dua ....., bisa kan pa?’ setengah memaksa.
“sebentar, sebentar pa, tadi bapa bilang atas saran sahabat bapa, siapa pa?”
‘ya nanti saya pertemukan, orangnya nunggu di mobil dan dia juga yang butuh komputernya. ‘aneh, pikirku, mau beli ko teka teki, berarti orang yang nunggu di mobil bosnya. Pikirku. Aneh, tapi aku tidak berpikir panjang, yang jelas terbayang di benakku rejeqi bakal datang. “gimana pa, bisa kita berangkat sekarang?” pertanyaannya membuyarkan lamunanku.
“ya, ya, siap pa, kita berangkat sekarang, mumpung masih pagi”.
“Jadi orang yang nunggu di mobil itu sahabat bapa kenal dengan saya?”
“Nah ini dia pa Hamid, sahabat saya ....” sesampainya di pintu mobil.
“lha ini tetangga saya pa, kenalan baik saya, maaf jadi yang butuh komputer pa hamid, apa kabar pa?”
“baik, maaf saya ga turun nemuin bapa, tadinya saya yang mau turun mau ke rumah bapa, tapi pa yuda melarang, biar pa Yuda saja yang kerumah sekalian mau kenal dengan bapa”
“oh, terhormat sekali saya di mata pa Yuda ini, jadi malu”
“begini pa burhan, pa Hamid ini sopir saya, sahabat saya sekaligus juga adalah guru spiritual saya...., saya menaruh hormat dan kepercayaan penuh sama pa Hamid ini”
“Oh, sampai ngatur beli komputer juga pa?” candaku
“Oh, iya, saya percaya apa yang pa Hamid sampaikan, kami sekeluarga percaya sama pa Hamid ini” pujiannya meluncur terus, dan nampak wajah pa Hamid datar saja, tidak menampakkan ekspressi mimik senang atau apalah, datar saja wajahnya itu.
“hem, jadi karena pa hamid yang minta saya belikan komputer, wuah, wuah, saya jadi heran berat nih, padahal toko komputer sekarang banyak dan jarak dari kalideres tempat bapa ke Mangga dua dekat, kenapa bapa jauh-jauh ke rumah saya, ke Tangerang hanya untuk beli …....”
“sebenarnya tadi malam saya bermaksud ke rumah bapa, tapi pa Yuda melarang biar besok saja sekalian dengan saya dan langsung ke tokonya” pa Hamid menjelaskan.
Aneh ‘pikirku. Berarti pa hamid di mata pa Yuda bukan orang sembarangan. Saya jadi heran, begitu besar pengaruh pa hamid ini di mata keluarga pa Yuda. Tentu ada apa-apanya nih.
:”rupanya pa Hamid ini orang istimewa bagi pa Yuda?”
“ya, betul, betul sekali. Karena lewat pa Hamidlah saya jadi tahu apa artinya menghargai hidup dan kehidupan, terlebih lagi perubahan yang terjadi pada isteri dan anak-anak saya. Subhanallah, saya bersyukur bisa kenal dengan pa Hamid ini. “setahu saya pa Hamid ini orangnya ga kebanyakan, sederhana hidupnya juga sering ngobrol dengan saya ba`da shalat maghrib di masjid Al-Wustho. Dan itupun hanya obrolan biasa, obrolan ringan’. Renungku. “wuah, wuah makin penasaran jadinya saya pa, kalau ga keberatan boleh dong bagi-bagi cerita.” Aku mendesak.
“ceritanya sih sederhana pa kaya di sinetron, tapi muatan peristiwanya itu yang membuat saya jadi kenal dengan pa hamid termasuk hari ini kenal dengan pa burhan.”
“sederhana gimana pa?” potong saya
“hanya soal tas .....
“tas?”
“ya, saya kehilangan tas, sebuah tas. Waktu itu saya naik angkot mau ke kantor, duduk di samping supir, sambil ngobrol sejenak dengan sopir tentang berbagai persoalan kehidupan di ibukota, tentang BBM, tentang tawuran, tentang copet yang digebukin masa, tentang maling motor yang dibakar masa, tentang perampokan, tentang korupsi dan sopir ini hanya menjawab singkat saja ‘mereka ga punya iman’, dan jawaban itu yang selalu dia lontarkan. Sampai di kantor saya baru sadar tas saya ketinggalan di angkot, saya balik lagi dan mengejar, ternyata angkot itu sudah pergi. Saya marah, kecewa, menyesal, sedih ..... berkecamuk di batin saya, terbayang isi tas itu adalah hidup dan matinya keluarga saya ....”
“isinya tentu barang yang sangat berharga” selaku
“ya, sangat berharga, uang tigajuta setengah dan surat tanah isteri saya, sertifikast asli. Rencana hari itu rehat makan siang saya mau ke kantor notaris mengurus penjualan tanah isteri saya, janji dengan pembelinya di kantor notaris.”
“lalu, .....”
“tiap hari sebelum berangkat kerja dan sepulang kerja saya tunggu angkot itu lewat dan saya masih ingat wajah sopirnya, ya wajah yang bersih, dewasa dan sederhana dalam berbicara, wajahnya itu yang saya ingat, wajah yang beda dengan sopir-sopir umumnya, kusut, kotor. Ini wajah bersih tapi tidak putih. Saya kejar ke poolnya, saya tanya barangkali kenal dengan sopir itu, mereka jawab ‘susah pa, disini sopir ada limaratusan belum yang batangan, kecuali bapa ingat nomor kendaraannya.....”mereka tak banyak membantu.
Seminggu sudah lewat, saya pasrah saja dan mengurus penggantian sertifikat ke BPN dan ini memerlukan proses yang cukup panjang, tapi saya jalani terus. Sampai suatu ketika saya rencana makan siang di luar dengan teman saya, di lampu merah dekat kantor, mobil dengan sopir itu lewat persis di depan saya, dan secara refleks saya menyetop mobil tersebut.
“pa, pa, masih ingat saya ga?”
“wuah, bapa ini mau naik apa mau nanya” sopir balik tanya
“saya mau nanya bapa, masih ingat saya ga, seminggu yang lalu saya naik angkot bapa duduk di depan dan saya ketinggalan tas saya, masih ingat ga?”
“Oh, tas itu, ada di rumah saya, mau diambil ? .... bapa ikut saya saja sekarang”. Tanpa pikir panjang saya naik angkot itu, teman saya teriak :” oi, gimana nih acara makannya, jadi ga?”
“gaaaaa, selera makanku terbang, eh bilangin sama orang kantor saya keluar dulu ada urusan penting ya” jawabku asal
Sepanjang perjalanan perasaanku berkecamuk, apa betul tas saya masih ada, apa isinya sudah diobrak-abrik, apa surat tanah saya hilang, apa dan apakah ..... “
“saya kaget, dikira saya bapa mau apa, ternyata soal tas itu, aman pa, di rumah Insya Allah, isteri saya yang simpan, dan saya sendiri sudah lupa, mudah-mudahan masih ada”
“bapa buka isinya ga?” curiga saya
“tidak pa, saya ga berani, saya juga pesan sama isteri di rumah agar menyimpan tas itu dan jangan dibuka-buka, tadinya mau saya serahkan ke polisi tapi selalu lupa dan isteri saya juga tidak mengingatkan saya…....”
“kalaupun dibuka ga apa-apa, uangnya juga ga seberapa, tapi yang penting itu pa, sertifikat tanah isteri saya, itu yang penting”
“saya ga berani pa, saya hanya menyimpan dan menitipkan ke isteri saya, tapi Insya Allah pa, saya jamin tas dan segala isinya aman, ....nah sebentar lagi kita sampai pa .....”
Mobil parkir di pinggir jalan, dan kami turun kemudian jalan memasuki gang yang lumayan jauh..... Nah, itu rumah saya pa, dan isteri saya biasanya jam segini lagi nunggu warung .....”. saya tidak merespon ucapannya, yang terbayang di hati saya adalah tas dan surat-suratnya.
“assalamu’alaikum”
“wa’alaikum salam, wuah kebetulan bapa pulang nih, dan ini ....” isterinya memandangku. Dan kulihat wajah lembut seorang ibu.
“ini bu, ..... penumpang yang seminggu .....”
:Oh maaf, perkenalkan saya Yuda, dan maaf sama bapa juga saya belum kenal, maaf karena rasa senang saya ketemu bapa sampai lupa mengenalkan nama”
“Oh, pa Yuda, suami saya namanya Hamid dan saya Aminah”
“ini lho bu, pa Yuda nanyain tas yang bapa titipkan seminggu yang lalu, disimpan dimana bu?”
“Oh, tas itu, ada noh di atas lemari, sebentar saya ambil ya pa .....” Bu Aminah berdiri dan masuk kamar. Selang beberapa menit kemudian dia membawa tas, yah benar itu tas saya, dan nampak berdebu seperti ga pernah disentuh.
“ ....dulu suami saya titip ya ibu langsung taro aja di atas lemari, ga keingetan lagi, kalau pa Yuda ga tanya, mungkin kami lupa bahwa di atas lemari ada tas bapa” lembut sekali suara bu Aminah ini.
Saya buka dan, ..... saya lihat uangnya masih utuh, surat-suratnya masih lengkap, bahkan posisi susunan seratus ribuan dan lima puluh ribuan tidak berubah, dan sertifikatnya masih ada. Artinya memang tas saya tidak pernah dibuka-buka.
“sebentar pa, bapa mau makan siang apa shalat dzuhur dulu, ini sudah jam dua lho pa” Bu Aminah mengingatkan suaminya.
“pa Yuda maaf ya, saya mau shalat dulu, bapa mau ikut shalat ga, dekat nih di belakang ada musholla.”
Karena rasa girang dan kaget saya manut saja ngikutin pa Hamid ke mushola.
Selesai shalat saya ambil uang satu juta, kemudian saya serahkan sama isterinya pa Hamid.
“Ini bu, sebagai rasa terima kasih saya, satu juta buat keluarga pa Hamid”
“Wuah maaf pa, ga kepikiran kami dapat uang, ga pa, kami ga bisa menerima uang itu, maaf pa” jawabnya lembut.
“tolong bu, bapa jangan menolak, ini saya tambahkan limaratus ribu, tolong pa di terima”
“pa Yuda, waktu kami menemukan tas bapa, niat kami cuma satu, tas ini harus aman, dan tidak terbersit sedikitpun untuk mendapatkan uang ....”
“maaf pa, saya bermaksud baik ingin mengucapkan terima kasih dan tanda terima kasih saya, ini rejeqi buat bapa, saya ikhlas ....”
“pa Yuda maaf ya, uang 1,5 juta itu bagi kami sangat besar, keikhlasan kami hanya sebatas menyimpan tas yang bukan hak kami, dan kami sudah janji kepada Allah agar senantiasa menjaga keikhlasan kami, maaf .... pa kami menolak menerima uang bapa, kami hanya mengharap ridho Allah semata-mata pa, maaf, sekali lagi maaf.”
“aduh gimana ini, saya jadi ga enak nih bu pa”
“sudahlah pa Yuda, bersyukur pada Allah, tasnya telah ditemukan. Sekarang mendingan kita makan, bapa kan belum makan siang ...., setelah makan siang juga saya narik lagi, nanti sama-sama kita jalan, gimana pa”
“ga pa, terima kasih, saya permisi sekarang saja pa, assalamu ‘alaikum”
“wa’alaikum salam”
oooo 0 oooo
Malam hari saya gelisah tidak bisa memejamkan mata sekejap pun, pikiran berkecamuk antara percaya dan tidak peristiwa siang di rumah pa Hamid, kalau tidak mengalami sendiri, dan isteriku pun tidak percaya, ‘ga mungkin jaman materialistis begini ada orang nolak rejeqi, ga mungkin ada orang ga doyan duit, malaikat, kali. Begitu kesimpulan isteriku.
Setiap malam kegelisahan senantiasa menggelayutiku, dan isteriku jadi khawatir tentang mulutku yang senantiasa selalu bicara pa hamid, bu aminah, pa hamid, bu aminah, ga pagi mau kerja, ga malam pulang kerja. Selalu saja kedua orang itu yang disinggung. Akhirnya isteriku bertekad ingin kenal dengan mereka.
“percuma bu, kita tawarin uang juga mereka ga mau terima, gimana kalau kita tawarkan yang lain..... bu?”
“ya, tawarkan apa, oh ya pa, tanah kita kan sudah terjual, dan ternyata harganya lebih tinggi dari yang kita sangka, bagaimana kalau kita coba tawarkan mobil sama pa hamid?”
“maksudnya?”
“ya, kita belikan mobil baru buat mereka, toh harganya ga seberapa dan deposit kita masih buanyak, lebih dari cukup untuk anak-anak kita, gimana pa?”
“boleh, boleh, kita coba besok kerumahnya, pa hamid kalau ga salah ada di rumahnya malam, ya, ya betul bu, kita tawarkan sekalian mereka ajak ke dealer untuk memilih mobil yang mereka suka.”
oooo 0 oooo
“Assalamu ‘alaikum” saya mengetuk dan mengucap salam
“wa’alaikum salam” terdengar suara pa Hamid
“bagaimana kabarnya pa Hamid, kenalkan ini isteri saya ....”
“Bu, bu, ..... ini ada tamu” pa Hamid memanggil isterinya, isterinya keluar dan langsung bersalaman dengan kami.
“aduh ada angin apa pa Yuda malam-malam begini mau mengunjungi rumah kami”
“Begini bu, pertama kami ingin silaturahmi, kedua isteri saya ingin kenal dan yang ketiganya ....“
“ini bu, saya Laila isterinya Pa Yuda, saya banyak dengar tentang bapa ibu dari suami saya setelah peristiwa tas itu, dan suami saya tiap hari selalu saja membicarakan perihal bapa sama ibu di sini, sehingga ingin sekali saya berkenalan dengan keluarga di sini.”
“wuah, wuah, suatu kehormatan bagi kami, tapi kenapa harus repot-repot Ibu mau datang kesini, lumayan jauh kan dari jalan raya, lewat gang sempit lagi .....”
“ga soal bu, maksud kedatangan kami, ya seperti kata suami saya tadi .... Kami ya, alhamdulillah tanah kami sudah terjual dan keuntungannya luar biasa, bahkan di luar sangkaan kami.....”
“tanah yang mana bu?” pa Hamid menyela
“itu pa, tanah yang di jalan Sudirman, yang sertifikatnya ada di tas itu, alhamdulillah kami mendapat keuntungan sangat besar bahkan di luar perkiraan kami, dan sebagai tanda syukur kami kepada Allah, kami bermaksud ....”
“maksud suami saya begini pa Hamid, bu Aminah, kami ingin berbagi rasa syukur kami dengan keluarga di sini....”
“Assalamu`alaikum” suara anak remaja masuk
serentak kami menjawab “wa’alaikum salam”
“Oh, Ahmad, ini anak saya, salim nak sama Pa Yuda Bu Laila, kenapa baru pulang biasanya jam 6 pulangnya nak?”
“komputernya eror bu, jadi nunggu dibetulkan dulu tapi ga selesai ya sudah besok saja teruskan, dan ini juga tugas sekolah belum selesai semua”
“Ya sudah, istirahat dulu sana, makan sudah siap dan jangan lupa shalat isya nak”
“ya bu” anak itu masuk ke kamarnya
“anak keberapa bu?” tanya pa Yuda
“anak pertama, baru kelas 2 SMP, yang bontot kelas 5 SD, anak kami dua ....”
“jadi begini bu pa, saya teruskan ya, kalau ga keberatan kami sudah berunding dengan suami saya sebagai wujud rasa syukur kami kepada Allah, besok ingin mengajak bapa dan ibu ke dealer mobil, dan bapa ibu silahkan pilih mobil mana yang cocok, yang disukai bapa atau ibu ....”
“sebentar, sebentar ...” pa hamid menyela “maksud bu laila ini kami mau dibelikan mobil, begitu maksudnya?”
“ya pa, dan bapa boleh memilih mobil mana yang bapa suka”. Saya lihat kening bu Hamid sedikit berkernyit memandang pa hamid, dan keduanya saling pandang keheranan dan wajah mereka kembali datar, biasa seakan tanpa emosi kegembiraan.
‘tidak, tidak bisa bu, pa, maaf kami ga bisa menerima kebaikan ini, maaf kami ga bisa”
“tapi pa, kami ikhlas ridho lillaahi ta’ala, dan ini sudah menjadi keputusan kami sekeluarga.”
“ga, kami ga bisa menerima ini, bukan kami sombong menolak karunia ini, bukan bu pa, maaf jangan salah faham”
“Bu, pa, izinkan kami berbuat baik kepada keluarga di sini, tolong pa, izinkan kami ....” suara bu laila sedikit bergetar .....”tolong pa bu, sekali ini saja bapa ibu di sini menerima kebaikan kami, tolong pa”
“maaf pa, bu, beri kami alasan yang jelas kenapa keluarga di sini menolak kebaikan kami, kenapa ?” pa Yuda penasaran
“sebenarnya begini pa Yuda, bu laila, kami bukan menolak karunia ini, tapi kami takut, takut sekali .....”
“takut apa pa, takut uang kami bukan uang halal?”
“bukan, bukan itu, kalau kami punya mobil kami takut terganggu ....”
“terganggu, …… maksudnya?” bu Laila penasaran
“begini, dengan adanya mobil nanti, pasti irama kehidupan kami bisa tergganggu ....”
“maksudnya terganggu bagaimana, kami ga faham.”
“begini, dengan adanya mobil, rutinitas kami sehari-hari, ibadah kami, bisa terganggu, dan tentu bapa ibu tahu rumah kami masuk gang, dan mobil tentu harus diparkir di depan, dan akan timbul umpatan-umpatan orang karena jalannya terusik, ga bisa lewat seperti biasa, dan setiap malam pasti pengaruh mobil itu ada, sudah dikuncikah, amankah diparkir di depan, akan timbul persoalan-persoalan baru di keluarga kami, pikiran-pikiran kekhawatiran tentang mobil tersebut yang ujung-ujungnya ya menggangu ketenangan jiwa kami, ga ah kami ga mau diperbudak oleh mobil, maaf....”
“Oh???”
“dan terus terang bagi kami bu pa kalau ada orang terganggu kenyamanannya karena parkirnya mobil tersebut, itu dosa bagi kami, bisa kami bayangkan kami diumpat, dicaci orang setiap malam, berapa dosa yang kami kumpulkan, maaf kami menolak dan mudah-mudahan pa Yuda bu Laila bisa menerima sikap kami” tegas pa Hamid.
Kami saling pandang, isteriku nampak bingung harus bicara apa ....’oh kalau begitu kami faham, sikap bapa jelas bagi kami, pada dasarnya bapa ga menolak pemberian kami…kan?”.
“kami berterima kasih, niat tulus pa Yuda dan ibu kami saksikan dan Allah maha tahu, jadi barang apa pun yang sifatnya mengganggu rutinitas ibadah kami dan dikhawatirkan bisa membelokan kami dari Allah, kami menolak. Tanpa mengurangi rasa hormat dan terima kasih kami kepada pa Yuda dan Ibu.
“begini saja pa hamid, kalau bukan mobil, bagaimana kalau komputer buat siapa tadi nama anaknya..... ahmad, ya ya ahmad, gimana?”
Pa Hamid dan Bu Aminah saling pandang satu sama lain “boleh, boleh, tapi kami ga faham soal komputer, coba saya panggil dulu anak kami ..... ahmad, mad” bu ahmad berdiri membuka gordin kamar anaknya....”oh lagi shalat’
“ya kami belikan komputer 1 unit lengkap dengan meja dan printernya, dari pada anak bapa tugas-tugas sekolahnya terganggu .... Setuju kan pa?”
“ya saya tanya ahmad dulu, nah ini anaknya. Nak, kalau komputer di rental itu suka rusak?”
“ya pa, sering eror, teman-teman juga sama ga bisa, tugas-tugas sekolah masih banyak ....”
“begini nak ahmad, kami mau belikan komputer baru buat nak ahmad lengkap dengan printer dan mejanya, tapi biasanya tugas dari sekolah belajar komputernya program apa saja?”
“pengetikan sama hitungan. Word sama excel pa”
“Ya besok pa Hamid sama saya berangkat ke Mangga dua, kita beli komputer baru, bagaimana pa?”
“Insya Allah, tapi kalau boleh usul, bagaimana kalau saya minta ditemanin pa burhan tetangga saya, dia juga suka jual komputer, suka servis, tapi sekarang ga jualan lagi”
“boleh, boleh, besok jam 9 saya jemput sekalian kita berangkat, bagaimana bu?” isteriku kaget .
“Oh ya ya boleh, tapi barusan terlintas dalam pikiran saya pa, mungkin rasa syukur kita akan lebih sempurna kalau kita berangkat ibadah haji sama pa hamid dan bu aminah, kita berangkat ibadah haji tahun ini, bagaimana usul saya?”.
“Subhanallah, Allahu Akbar”teriak bu Aminah dan kami saling pandang satu sama lain, iya baru terpikirkan oleh saya. Ya ya ibadah haji, bagaimana pa hamid?”
“subhanallah, itu dia cita-cita dan niat kami ingin sekali ke tanah suci, kami setuju, sangat setuju” mata pa Hamid dan bu Aminah berbinar-binar penuh kegirangan.
‘assalamu `alaikum’ terdengar suara orang mengucap salam, nadanya dalam dan berat, pertanda orangnya tua dan berwibawa.
‘wa’alaikum salam’ sahutku sambil kubuka pintu, dan dugaanku meleset, ternyata orangnya masih muda dan cukup berwibawa, dan dilihat dari penampilannya, ini tamu pasti orang penting, akh, aku tidak mau mereka-reka, suka meleset (pikirku), yang penting prinsipku setiap orang yang datang kerumahku selalu kuperlakukan orang penting, tapi siapa gerangan, tamu pagi istimewa ini.
‘apa betul ini rumahnya pa burhan?’
‘ya, betul, pak. Saya sendiri, dan ....”
“kenalkan saya, pa Yuda .....”
‘Oh? ya silahkan masuk pa Yuda, ..... kaget saya, barangkali ada yang bisa saya bantu?’
“begini pa, ehm, hari ini Bapa ada acara ga?”
‘oh, ga, engga, paling ya menulis, saya sedang menulis sebuah buku ....”
‘wuah tentunya saya mengganggu sekali ya pa .....’
‘nggak pa, tidak mengganggu, saya menulis kalau ada ide, senggang waktu, dan lagi mood .....
‘Oh, begini pa, saya mau beli komputer baru dan lengkap”
‘Wuah, saya sudah lama pa ga jual komputer, dan ....”
“ya, saya juga tahu pa, bapa ga jualan komputer lagi, tapi sahabat saya menyarankan untuk menghubungi bapa, ya kalau bapa ga repot sih hari ini kita berangkat ke mangga dua ....., bisa kan pa?’ setengah memaksa.
“sebentar, sebentar pa, tadi bapa bilang atas saran sahabat bapa, siapa pa?”
‘ya nanti saya pertemukan, orangnya nunggu di mobil dan dia juga yang butuh komputernya. ‘aneh, pikirku, mau beli ko teka teki, berarti orang yang nunggu di mobil bosnya. Pikirku. Aneh, tapi aku tidak berpikir panjang, yang jelas terbayang di benakku rejeqi bakal datang. “gimana pa, bisa kita berangkat sekarang?” pertanyaannya membuyarkan lamunanku.
“ya, ya, siap pa, kita berangkat sekarang, mumpung masih pagi”.
“Jadi orang yang nunggu di mobil itu sahabat bapa kenal dengan saya?”
“Nah ini dia pa Hamid, sahabat saya ....” sesampainya di pintu mobil.
“lha ini tetangga saya pa, kenalan baik saya, maaf jadi yang butuh komputer pa hamid, apa kabar pa?”
“baik, maaf saya ga turun nemuin bapa, tadinya saya yang mau turun mau ke rumah bapa, tapi pa yuda melarang, biar pa Yuda saja yang kerumah sekalian mau kenal dengan bapa”
“oh, terhormat sekali saya di mata pa Yuda ini, jadi malu”
“begini pa burhan, pa Hamid ini sopir saya, sahabat saya sekaligus juga adalah guru spiritual saya...., saya menaruh hormat dan kepercayaan penuh sama pa Hamid ini”
“Oh, sampai ngatur beli komputer juga pa?” candaku
“Oh, iya, saya percaya apa yang pa Hamid sampaikan, kami sekeluarga percaya sama pa Hamid ini” pujiannya meluncur terus, dan nampak wajah pa Hamid datar saja, tidak menampakkan ekspressi mimik senang atau apalah, datar saja wajahnya itu.
“hem, jadi karena pa hamid yang minta saya belikan komputer, wuah, wuah, saya jadi heran berat nih, padahal toko komputer sekarang banyak dan jarak dari kalideres tempat bapa ke Mangga dua dekat, kenapa bapa jauh-jauh ke rumah saya, ke Tangerang hanya untuk beli …....”
“sebenarnya tadi malam saya bermaksud ke rumah bapa, tapi pa Yuda melarang biar besok saja sekalian dengan saya dan langsung ke tokonya” pa Hamid menjelaskan.
Aneh ‘pikirku. Berarti pa hamid di mata pa Yuda bukan orang sembarangan. Saya jadi heran, begitu besar pengaruh pa hamid ini di mata keluarga pa Yuda. Tentu ada apa-apanya nih.
:”rupanya pa Hamid ini orang istimewa bagi pa Yuda?”
“ya, betul, betul sekali. Karena lewat pa Hamidlah saya jadi tahu apa artinya menghargai hidup dan kehidupan, terlebih lagi perubahan yang terjadi pada isteri dan anak-anak saya. Subhanallah, saya bersyukur bisa kenal dengan pa Hamid ini. “setahu saya pa Hamid ini orangnya ga kebanyakan, sederhana hidupnya juga sering ngobrol dengan saya ba`da shalat maghrib di masjid Al-Wustho. Dan itupun hanya obrolan biasa, obrolan ringan’. Renungku. “wuah, wuah makin penasaran jadinya saya pa, kalau ga keberatan boleh dong bagi-bagi cerita.” Aku mendesak.
“ceritanya sih sederhana pa kaya di sinetron, tapi muatan peristiwanya itu yang membuat saya jadi kenal dengan pa hamid termasuk hari ini kenal dengan pa burhan.”
“sederhana gimana pa?” potong saya
“hanya soal tas .....
“tas?”
“ya, saya kehilangan tas, sebuah tas. Waktu itu saya naik angkot mau ke kantor, duduk di samping supir, sambil ngobrol sejenak dengan sopir tentang berbagai persoalan kehidupan di ibukota, tentang BBM, tentang tawuran, tentang copet yang digebukin masa, tentang maling motor yang dibakar masa, tentang perampokan, tentang korupsi dan sopir ini hanya menjawab singkat saja ‘mereka ga punya iman’, dan jawaban itu yang selalu dia lontarkan. Sampai di kantor saya baru sadar tas saya ketinggalan di angkot, saya balik lagi dan mengejar, ternyata angkot itu sudah pergi. Saya marah, kecewa, menyesal, sedih ..... berkecamuk di batin saya, terbayang isi tas itu adalah hidup dan matinya keluarga saya ....”
“isinya tentu barang yang sangat berharga” selaku
“ya, sangat berharga, uang tigajuta setengah dan surat tanah isteri saya, sertifikast asli. Rencana hari itu rehat makan siang saya mau ke kantor notaris mengurus penjualan tanah isteri saya, janji dengan pembelinya di kantor notaris.”
“lalu, .....”
“tiap hari sebelum berangkat kerja dan sepulang kerja saya tunggu angkot itu lewat dan saya masih ingat wajah sopirnya, ya wajah yang bersih, dewasa dan sederhana dalam berbicara, wajahnya itu yang saya ingat, wajah yang beda dengan sopir-sopir umumnya, kusut, kotor. Ini wajah bersih tapi tidak putih. Saya kejar ke poolnya, saya tanya barangkali kenal dengan sopir itu, mereka jawab ‘susah pa, disini sopir ada limaratusan belum yang batangan, kecuali bapa ingat nomor kendaraannya.....”mereka tak banyak membantu.
Seminggu sudah lewat, saya pasrah saja dan mengurus penggantian sertifikat ke BPN dan ini memerlukan proses yang cukup panjang, tapi saya jalani terus. Sampai suatu ketika saya rencana makan siang di luar dengan teman saya, di lampu merah dekat kantor, mobil dengan sopir itu lewat persis di depan saya, dan secara refleks saya menyetop mobil tersebut.
“pa, pa, masih ingat saya ga?”
“wuah, bapa ini mau naik apa mau nanya” sopir balik tanya
“saya mau nanya bapa, masih ingat saya ga, seminggu yang lalu saya naik angkot bapa duduk di depan dan saya ketinggalan tas saya, masih ingat ga?”
“Oh, tas itu, ada di rumah saya, mau diambil ? .... bapa ikut saya saja sekarang”. Tanpa pikir panjang saya naik angkot itu, teman saya teriak :” oi, gimana nih acara makannya, jadi ga?”
“gaaaaa, selera makanku terbang, eh bilangin sama orang kantor saya keluar dulu ada urusan penting ya” jawabku asal
Sepanjang perjalanan perasaanku berkecamuk, apa betul tas saya masih ada, apa isinya sudah diobrak-abrik, apa surat tanah saya hilang, apa dan apakah ..... “
“saya kaget, dikira saya bapa mau apa, ternyata soal tas itu, aman pa, di rumah Insya Allah, isteri saya yang simpan, dan saya sendiri sudah lupa, mudah-mudahan masih ada”
“bapa buka isinya ga?” curiga saya
“tidak pa, saya ga berani, saya juga pesan sama isteri di rumah agar menyimpan tas itu dan jangan dibuka-buka, tadinya mau saya serahkan ke polisi tapi selalu lupa dan isteri saya juga tidak mengingatkan saya…....”
“kalaupun dibuka ga apa-apa, uangnya juga ga seberapa, tapi yang penting itu pa, sertifikat tanah isteri saya, itu yang penting”
“saya ga berani pa, saya hanya menyimpan dan menitipkan ke isteri saya, tapi Insya Allah pa, saya jamin tas dan segala isinya aman, ....nah sebentar lagi kita sampai pa .....”
Mobil parkir di pinggir jalan, dan kami turun kemudian jalan memasuki gang yang lumayan jauh..... Nah, itu rumah saya pa, dan isteri saya biasanya jam segini lagi nunggu warung .....”. saya tidak merespon ucapannya, yang terbayang di hati saya adalah tas dan surat-suratnya.
“assalamu’alaikum”
“wa’alaikum salam, wuah kebetulan bapa pulang nih, dan ini ....” isterinya memandangku. Dan kulihat wajah lembut seorang ibu.
“ini bu, ..... penumpang yang seminggu .....”
:Oh maaf, perkenalkan saya Yuda, dan maaf sama bapa juga saya belum kenal, maaf karena rasa senang saya ketemu bapa sampai lupa mengenalkan nama”
“Oh, pa Yuda, suami saya namanya Hamid dan saya Aminah”
“ini lho bu, pa Yuda nanyain tas yang bapa titipkan seminggu yang lalu, disimpan dimana bu?”
“Oh, tas itu, ada noh di atas lemari, sebentar saya ambil ya pa .....” Bu Aminah berdiri dan masuk kamar. Selang beberapa menit kemudian dia membawa tas, yah benar itu tas saya, dan nampak berdebu seperti ga pernah disentuh.
“ ....dulu suami saya titip ya ibu langsung taro aja di atas lemari, ga keingetan lagi, kalau pa Yuda ga tanya, mungkin kami lupa bahwa di atas lemari ada tas bapa” lembut sekali suara bu Aminah ini.
Saya buka dan, ..... saya lihat uangnya masih utuh, surat-suratnya masih lengkap, bahkan posisi susunan seratus ribuan dan lima puluh ribuan tidak berubah, dan sertifikatnya masih ada. Artinya memang tas saya tidak pernah dibuka-buka.
“sebentar pa, bapa mau makan siang apa shalat dzuhur dulu, ini sudah jam dua lho pa” Bu Aminah mengingatkan suaminya.
“pa Yuda maaf ya, saya mau shalat dulu, bapa mau ikut shalat ga, dekat nih di belakang ada musholla.”
Karena rasa girang dan kaget saya manut saja ngikutin pa Hamid ke mushola.
Selesai shalat saya ambil uang satu juta, kemudian saya serahkan sama isterinya pa Hamid.
“Ini bu, sebagai rasa terima kasih saya, satu juta buat keluarga pa Hamid”
“Wuah maaf pa, ga kepikiran kami dapat uang, ga pa, kami ga bisa menerima uang itu, maaf pa” jawabnya lembut.
“tolong bu, bapa jangan menolak, ini saya tambahkan limaratus ribu, tolong pa di terima”
“pa Yuda, waktu kami menemukan tas bapa, niat kami cuma satu, tas ini harus aman, dan tidak terbersit sedikitpun untuk mendapatkan uang ....”
“maaf pa, saya bermaksud baik ingin mengucapkan terima kasih dan tanda terima kasih saya, ini rejeqi buat bapa, saya ikhlas ....”
“pa Yuda maaf ya, uang 1,5 juta itu bagi kami sangat besar, keikhlasan kami hanya sebatas menyimpan tas yang bukan hak kami, dan kami sudah janji kepada Allah agar senantiasa menjaga keikhlasan kami, maaf .... pa kami menolak menerima uang bapa, kami hanya mengharap ridho Allah semata-mata pa, maaf, sekali lagi maaf.”
“aduh gimana ini, saya jadi ga enak nih bu pa”
“sudahlah pa Yuda, bersyukur pada Allah, tasnya telah ditemukan. Sekarang mendingan kita makan, bapa kan belum makan siang ...., setelah makan siang juga saya narik lagi, nanti sama-sama kita jalan, gimana pa”
“ga pa, terima kasih, saya permisi sekarang saja pa, assalamu ‘alaikum”
“wa’alaikum salam”
Malam hari saya gelisah tidak bisa memejamkan mata sekejap pun, pikiran berkecamuk antara percaya dan tidak peristiwa siang di rumah pa Hamid, kalau tidak mengalami sendiri, dan isteriku pun tidak percaya, ‘ga mungkin jaman materialistis begini ada orang nolak rejeqi, ga mungkin ada orang ga doyan duit, malaikat, kali. Begitu kesimpulan isteriku.
Setiap malam kegelisahan senantiasa menggelayutiku, dan isteriku jadi khawatir tentang mulutku yang senantiasa selalu bicara pa hamid, bu aminah, pa hamid, bu aminah, ga pagi mau kerja, ga malam pulang kerja. Selalu saja kedua orang itu yang disinggung. Akhirnya isteriku bertekad ingin kenal dengan mereka.
“percuma bu, kita tawarin uang juga mereka ga mau terima, gimana kalau kita tawarkan yang lain..... bu?”
“ya, tawarkan apa, oh ya pa, tanah kita kan sudah terjual, dan ternyata harganya lebih tinggi dari yang kita sangka, bagaimana kalau kita coba tawarkan mobil sama pa hamid?”
“maksudnya?”
“ya, kita belikan mobil baru buat mereka, toh harganya ga seberapa dan deposit kita masih buanyak, lebih dari cukup untuk anak-anak kita, gimana pa?”
“boleh, boleh, kita coba besok kerumahnya, pa hamid kalau ga salah ada di rumahnya malam, ya, ya betul bu, kita tawarkan sekalian mereka ajak ke dealer untuk memilih mobil yang mereka suka.”
“Assalamu ‘alaikum” saya mengetuk dan mengucap salam
“wa’alaikum salam” terdengar suara pa Hamid
“bagaimana kabarnya pa Hamid, kenalkan ini isteri saya ....”
“Bu, bu, ..... ini ada tamu” pa Hamid memanggil isterinya, isterinya keluar dan langsung bersalaman dengan kami.
“aduh ada angin apa pa Yuda malam-malam begini mau mengunjungi rumah kami”
“Begini bu, pertama kami ingin silaturahmi, kedua isteri saya ingin kenal dan yang ketiganya ....“
“ini bu, saya Laila isterinya Pa Yuda, saya banyak dengar tentang bapa ibu dari suami saya setelah peristiwa tas itu, dan suami saya tiap hari selalu saja membicarakan perihal bapa sama ibu di sini, sehingga ingin sekali saya berkenalan dengan keluarga di sini.”
“wuah, wuah, suatu kehormatan bagi kami, tapi kenapa harus repot-repot Ibu mau datang kesini, lumayan jauh kan dari jalan raya, lewat gang sempit lagi .....”
“ga soal bu, maksud kedatangan kami, ya seperti kata suami saya tadi .... Kami ya, alhamdulillah tanah kami sudah terjual dan keuntungannya luar biasa, bahkan di luar sangkaan kami.....”
“tanah yang mana bu?” pa Hamid menyela
“itu pa, tanah yang di jalan Sudirman, yang sertifikatnya ada di tas itu, alhamdulillah kami mendapat keuntungan sangat besar bahkan di luar perkiraan kami, dan sebagai tanda syukur kami kepada Allah, kami bermaksud ....”
“maksud suami saya begini pa Hamid, bu Aminah, kami ingin berbagi rasa syukur kami dengan keluarga di sini....”
“Assalamu`alaikum” suara anak remaja masuk
serentak kami menjawab “wa’alaikum salam”
“Oh, Ahmad, ini anak saya, salim nak sama Pa Yuda Bu Laila, kenapa baru pulang biasanya jam 6 pulangnya nak?”
“komputernya eror bu, jadi nunggu dibetulkan dulu tapi ga selesai ya sudah besok saja teruskan, dan ini juga tugas sekolah belum selesai semua”
“Ya sudah, istirahat dulu sana, makan sudah siap dan jangan lupa shalat isya nak”
“ya bu” anak itu masuk ke kamarnya
“anak keberapa bu?” tanya pa Yuda
“anak pertama, baru kelas 2 SMP, yang bontot kelas 5 SD, anak kami dua ....”
“jadi begini bu pa, saya teruskan ya, kalau ga keberatan kami sudah berunding dengan suami saya sebagai wujud rasa syukur kami kepada Allah, besok ingin mengajak bapa dan ibu ke dealer mobil, dan bapa ibu silahkan pilih mobil mana yang cocok, yang disukai bapa atau ibu ....”
“sebentar, sebentar ...” pa hamid menyela “maksud bu laila ini kami mau dibelikan mobil, begitu maksudnya?”
“ya pa, dan bapa boleh memilih mobil mana yang bapa suka”. Saya lihat kening bu Hamid sedikit berkernyit memandang pa hamid, dan keduanya saling pandang keheranan dan wajah mereka kembali datar, biasa seakan tanpa emosi kegembiraan.
‘tidak, tidak bisa bu, pa, maaf kami ga bisa menerima kebaikan ini, maaf kami ga bisa”
“tapi pa, kami ikhlas ridho lillaahi ta’ala, dan ini sudah menjadi keputusan kami sekeluarga.”
“ga, kami ga bisa menerima ini, bukan kami sombong menolak karunia ini, bukan bu pa, maaf jangan salah faham”
“Bu, pa, izinkan kami berbuat baik kepada keluarga di sini, tolong pa, izinkan kami ....” suara bu laila sedikit bergetar .....”tolong pa bu, sekali ini saja bapa ibu di sini menerima kebaikan kami, tolong pa”
“maaf pa, bu, beri kami alasan yang jelas kenapa keluarga di sini menolak kebaikan kami, kenapa ?” pa Yuda penasaran
“sebenarnya begini pa Yuda, bu laila, kami bukan menolak karunia ini, tapi kami takut, takut sekali .....”
“takut apa pa, takut uang kami bukan uang halal?”
“bukan, bukan itu, kalau kami punya mobil kami takut terganggu ....”
“terganggu, …… maksudnya?” bu Laila penasaran
“begini, dengan adanya mobil nanti, pasti irama kehidupan kami bisa tergganggu ....”
“maksudnya terganggu bagaimana, kami ga faham.”
“begini, dengan adanya mobil, rutinitas kami sehari-hari, ibadah kami, bisa terganggu, dan tentu bapa ibu tahu rumah kami masuk gang, dan mobil tentu harus diparkir di depan, dan akan timbul umpatan-umpatan orang karena jalannya terusik, ga bisa lewat seperti biasa, dan setiap malam pasti pengaruh mobil itu ada, sudah dikuncikah, amankah diparkir di depan, akan timbul persoalan-persoalan baru di keluarga kami, pikiran-pikiran kekhawatiran tentang mobil tersebut yang ujung-ujungnya ya menggangu ketenangan jiwa kami, ga ah kami ga mau diperbudak oleh mobil, maaf....”
“Oh???”
“dan terus terang bagi kami bu pa kalau ada orang terganggu kenyamanannya karena parkirnya mobil tersebut, itu dosa bagi kami, bisa kami bayangkan kami diumpat, dicaci orang setiap malam, berapa dosa yang kami kumpulkan, maaf kami menolak dan mudah-mudahan pa Yuda bu Laila bisa menerima sikap kami” tegas pa Hamid.
Kami saling pandang, isteriku nampak bingung harus bicara apa ....’oh kalau begitu kami faham, sikap bapa jelas bagi kami, pada dasarnya bapa ga menolak pemberian kami…kan?”.
“kami berterima kasih, niat tulus pa Yuda dan ibu kami saksikan dan Allah maha tahu, jadi barang apa pun yang sifatnya mengganggu rutinitas ibadah kami dan dikhawatirkan bisa membelokan kami dari Allah, kami menolak. Tanpa mengurangi rasa hormat dan terima kasih kami kepada pa Yuda dan Ibu.
“begini saja pa hamid, kalau bukan mobil, bagaimana kalau komputer buat siapa tadi nama anaknya..... ahmad, ya ya ahmad, gimana?”
Pa Hamid dan Bu Aminah saling pandang satu sama lain “boleh, boleh, tapi kami ga faham soal komputer, coba saya panggil dulu anak kami ..... ahmad, mad” bu ahmad berdiri membuka gordin kamar anaknya....”oh lagi shalat’
“ya kami belikan komputer 1 unit lengkap dengan meja dan printernya, dari pada anak bapa tugas-tugas sekolahnya terganggu .... Setuju kan pa?”
“ya saya tanya ahmad dulu, nah ini anaknya. Nak, kalau komputer di rental itu suka rusak?”
“ya pa, sering eror, teman-teman juga sama ga bisa, tugas-tugas sekolah masih banyak ....”
“begini nak ahmad, kami mau belikan komputer baru buat nak ahmad lengkap dengan printer dan mejanya, tapi biasanya tugas dari sekolah belajar komputernya program apa saja?”
“pengetikan sama hitungan. Word sama excel pa”
“Ya besok pa Hamid sama saya berangkat ke Mangga dua, kita beli komputer baru, bagaimana pa?”
“Insya Allah, tapi kalau boleh usul, bagaimana kalau saya minta ditemanin pa burhan tetangga saya, dia juga suka jual komputer, suka servis, tapi sekarang ga jualan lagi”
“boleh, boleh, besok jam 9 saya jemput sekalian kita berangkat, bagaimana bu?” isteriku kaget .
“Oh ya ya boleh, tapi barusan terlintas dalam pikiran saya pa, mungkin rasa syukur kita akan lebih sempurna kalau kita berangkat ibadah haji sama pa hamid dan bu aminah, kita berangkat ibadah haji tahun ini, bagaimana usul saya?”.
“Subhanallah, Allahu Akbar”teriak bu Aminah dan kami saling pandang satu sama lain, iya baru terpikirkan oleh saya. Ya ya ibadah haji, bagaimana pa hamid?”
“subhanallah, itu dia cita-cita dan niat kami ingin sekali ke tanah suci, kami setuju, sangat setuju” mata pa Hamid dan bu Aminah berbinar-binar penuh kegirangan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar